Friday, February 24, 2017

HISTORIOGRAFI

 PENGERTIAN
Historigrafi terbentuk dari dua akar kata yaitu history (sejarah) dan graph (tulisan).  Jadi historiografi artinya adalah tulisan sejarah, baik itu yang bersifat ilmiah (problem oriented) maupun yang tidak bersifat ilmiah (no problem oriented). Problem oriented artinya karya sejarah ditulis bersifat ilmiah dan berorientasi kepada pemecahan masalah (problem solving), yang tentu saja penulisannya menggunakan seperangkat metode penelitian. Sedangkan yang dimaksud dengan no problem oriented adalah karya tulis sejarah yang ditulis tidak berorientasi kepada pemecahan masalah dan ditulis secara naratif, juga tidak menggunakan metode penelitian (Jayusman, 2012).
Secara lebih luas, Louis Gottschalk dalam (Dasuki, 2003, hal. 338) menyebutkan arti historiografi sebagai berikut:
a.      Historiografi merupakan bentuk publikasi, baik dalam bentuk tulisan maupun secara lisan, yang sengaja memberi pertelaan mengenai suatu peristiwa atau kombinasi peristiwa-peristiwa pada masa lampau
b.      Historiografi diartikan sebagai hasil karya berupa tulisan atau bacaan mengenai sejarah yang meliputi juga sejarah lisan
c.       Historiografi adalah proses penulisan sejarah sebagai penerapan aspek serba interpretatif dalam metode sejarah untuk menyusun sintetis sejarah yang dilandasi oleh penelitian yang seksama melalui heuristik, kritik terhadap sumber-sumber sejarah dan seleksi terhadap fakta-fakta sejarah.
d.      Historiografi merupakan kegiatan dalam kerja keilmuan di bidang sejarah yang menghasilkan tulisan-tulisan sebagai kategori pemikiran teoritis dan metodologis mengenai masalah-masalah dalam penelitian danproses penelitian sejarah.

JENIS-JENIS HISTORIOGRAFI
Historiografi Tradisional
Pada masa perkembangan historiografi tradisional, yaitu corak penulisan  sejarah  yang  banyak  ditulis  oleh para  pujangga  kraton,  karya-karya  mereka  bertujuan   untuk   melegitimasi   kedudukan   raja.   Dengan   demikian, historiografi pada masa ini mempunyai ciri-ciri magis, religius,  bersifat  sakral,  menekankan  kultus,  dewa  raja  dan mitologi, bersifat anakronisme,  etnosentrisme,  dan  berfungsi  sosial  psikologis  untuk  memberi  kohesi  pada  suatu masyarakat tentang kebenaran-kebenaran kedudukan suatu dinasti (Indriyanto, 2001, hal. 2).
Selanjutnya Soedjatmoko (1965) mengemukakan bahwa  historiografi tradisional nusantara, kita kenal dengan sejumlah istilah seperti babad, serat kanda, sajarah, carita, wawacan, hikayat, sejarah, tutur, salsilah, cerita-cerita manurung (Sjamsuddin, 2007, hal. 10). Semuanya naratif dalam bentuk prosa maupun puisi (syair). Kartodirdo (1982) menyebutkan historiografi tradisional itu berkembang setelah suatu kelompok dalam masyarakat Indonesia membentuk suatu kesatuan politik. Dengan timbulnya kerajaan atau kehidupan bangsa dalam suatu kesatuan politk, dibina pula historiografi yang menghasilkan naskah sebgai karya sastra sejarah. Pembinaan historiografi diselenggarakan di pusat kerajaan di berbagai daerah di Indonesia. Karya sastra sejarah yang dihasilkan terdiri dari naskah-naskah dalam bahasa-bahasa daerah dan sejarah di dalamnya masih difungsikan sebagai mitos (Dasuki, 2003, hal. 347).
Karya-karya sejarah yang ditulis oleh para pujangga dari lingkungan keraton ini hasil karyanya biasa disebut Historigrafi Tradisional. Contoh karya sejarah yang berbentuk historiografi tradisional yang ditulis oleh para pujangga keraton dari kerajaan hindu/budha sebagai berikut : 1. Babad Tanah Pasundan, 2. Babad Parahiangan, 3. Babad Tanah Jawa, 4. Pararaton, 5. Nagarakertagama, 6. Babad Galuh, 7. Babad Sriwijaya,   dan lain-lain. Sedangkan karya historiografi tradisional yang ditulis para pujangga dari kerajaan Islam diantaranya : 1. Babad Cirebon yaitu karya dari Kerajaan Islam Cirebon, 2. Babad  Banten yaitu karya dari Kerajaan Islam Banten,    3. Babad Dipenogoro yaitu karya yang mengisahkan kehidupan Pangeran Diponegoro, 4. Babad Demak yaitu karya tulis dari Kerajaan Islam Demak,  5. Babad Aceh dan lain-lain (Jayusman, 2012).
Karakteristik Historiografi Tradisional adalah sebagai berikut (Jayusman, 2012; Dasuki, 2003, hal. 346-347):
1)      Bersifat istana/kraton sentris, dimana karya-karya didalamnya banyak mengungkapkan sekitar kehidupan keluarga istana/keraton, dan ironisnya rakyat jelata tidak  mendapat tempat didalamnya, dengan alasan rakyat jelata dianggap a-historis.
2)      Bersifat Religio-magis, , artinya dalam historigrafi tradisional seorang raja ditulis sebagai manusia yang memiliki kelebihan secara batiniah, dianggap memiliki kekuatan gaib. Tujuannya agar seorang raja mendapat apresiasi yang luar biasa di mata rakyatnya, sehingga rakyat takut, patuh, dan mau melaksanakan perintahnya. Rakyat akan memandang, bahwa seorang raja keberadaannya di muka bumi merupakan sebagai perwujudan atau perwakilan dari Tuhan.
3)      Bersifat regio-sentrisme dimana cerita sejarah berpusat kepada kedudukan sentral raja, sehingga menimbulkan raja-sentrisme. Sebagai contoh, ada historiografi tradisional dengan secara vulgar memakai judul dari nama wilayah kekuasaannya,seperti Babad Cirebon, Babad Bugis, Babad Banten.
4)      Bersifat etnosentris artinya dalam historiografi tradisional ditulis dengan penekanan pada penonjolan/egoisme terhadap suku bangsa dan budaya yang ada dalam wilayah kerajaan.
5)      Bersifat psiko-politis sentrisme, artinya historiografi tradisional ditulis oleh para pujangga sangat kental dengan muatan-muatan psikologis seorang raja, sehingga karya historiografi tradisional dijadikan sebagai alat politik oleh sang raja dalam rangka mempertahankan kekuasaannya. Tidak perlu terlampau heran kalau karya historiografi tradisional oleh masyarakat setempat dipandang sebagai kitab suci yang didalamnya penuh dengan fatwa para pujangga dalam pengabdiannya terhadap sang raja.
Karena banyaknya pengaruh oleh faktor budaya saat naskah penulisan sejarah budaya dibuat, maka naskah tersebut dapat menjadi suatu hasil kebudayaan di masyarakat dan banyak dipengaruhi oleh alam pikiran penulis naskah atau masyarkatnya. Melukiskan kenyaataan jauh dari fakta yang sesungguhnya sehingga lemah dalam hal ketepatan fakta (Kuntowijoyo, 1995, hal. 8). Namun historiografi tradisional dalam batas-batas tertentu dapat dijadikan sumber untuk penulisan sejarah karena masih dapat mengambil nama tokoh, nama wilayah/daerah dan tahun kejadian (Jayusman, 2012).
Historiografi Kolonial
Historiogrofi kolonial tidak terlepas dari kepentingan penguasa kolonial untuk mengokohkan kekuasaan di Indonesia. Kepentingan itu mewarnai interpretasi mereka tehadap suatu peristiwa sejarah yang tentunya akan berlawanan dengan historiografi sejarah nasional.  Historiografi Kolonial adalah karya  sejarah (tulisan sejarah) yang ditulis  pada masa pemerintahan kolonial berkuasa di Nusantara Indonesia, yaitu sejak zaman VOC (1600) sampai masa Pemeritahan Hindia Belanda yang berakhir ketika tentara pendudukan Jepang datang di Indonesia (1942). Perlu ditambahkan, pemerintahan Hindia Belanda yang dikendalikan oleh para Gubernur Jenderal (GB) melalui para ahli begitu aktif menulis karya sejarah. Atau dengan kata lain, historiografi kolonial adalah karya tulis sejarah yang ditulis oleh para sejarawan kolonial ketika pemerintahan kolonial berkuasa di Nusantara Indonesia (Jayusman, 2012).
Kartodirdjo (1995) dalam (Indriyanto, 2001, hal. 2) mengemukakan historiografi  kolonial  yang  sudah  mendasarkan  pada  tradisi  studi sejarah  kritis.  Namun  demikian,   perspektif   yang   menonjol   masih   menunjukkan   Neerlandosentrisme   sebagai penyempitan  wawasan  Eropasentris.  Asal  mulanya  karya  sejarawan  Belanda  terutama   mengisahkan   perjalanan pelayar-pelayar  Belanda  serta  kemudian  perkembangan  VOC  dilanjutkan   dengan   pemerintah   kolonial   beserta penguasa-penguasanya.  Dalam hal ini kita menjumpai   penulisan   sejarah   berdasarkan   tradisi   historiografi konvensional yang lebih berupa riwayat orang-orang berkuasa, antara lain Gubernur Jendral, raja-raja,  panglima,  dan sebagainya.  Sebuah  model  sejenis  historiografi  ini  adalah  karya  W.F.  Stapel,  Geschiedenis  van  Nerlands-Indie.
Karakteristik historiografi kolonial adalah sebagai berikut:
1)      Belanda Sentrisme atau Neerlando Sentrismus artinya sejarah Indonesia di tulis dari sudut pandang kepentingan orang-orang Belanda yang sedang berkuasa (menjajah) di Nusantara Indonesia saat itu (Jayusman, 2012).
2)      Eropasentrisme, artinya selain ditulis dari sudut pandang kepentingan orang Belanda, ditulis juga sesuai dengan kepentingan bangsa Eropa pada umumnya.
3)      Mitologisasi artinya banyak kejadian yang tidak didasarkan pada kejadian yang sebenarnya (Dasuki, 2003, hal. 348). Interpretasi dari jaman kolonial cenderung untuk membuat mitologisasi dari dominasinya, dengan menyebut perang-perang kolonial sebagai usaha pasifikasi daerah-daerah, yang sesungguhnya mengadakan perlawanan untuk pertahanan masyarakat serta kebudayaannya (Rohman, 2013).
4)      ahistoris  artinya Orang Belanda dianggap sebagai manusia paliang sempurna dalam berbagai kehidupan di Nusantara, peran mereka ditulais dalam historiografi Kolonial sampai berlembar-lembar sementara peran rakyat pribumi sebagai pemilik sangat sederhana dan dituangkan dalam halaman yang sangat minim. Sejarawan kolonial menganggap bahwa rakyat pribumi sebagai non-faktor dalam sejarah. Contoh historiografi Kolonial dalam buku Sejarah Hindia Belanda sebagai berikut: Zaman purbakala dan Hindu (25 Halaman), Penyiaran Islam dan bangsa Portugis di Indonesia (8 halaman), VOC-kongsi dagang Belanda (152 halaman) dan pemerintah Belanda (150 halaman) (Jayusman, 2012).

Historiografi Modern
Historiografi modern muncul akibat tuntutan ketepatan teknik dalam mendapatkan fakta sejarah. Fakta sejarah didapatkan melalui penetapan metode penelitian, memakai ilmu-ilmu bantu, adanya teknik pengarsipan dan rekonstruksi melalui sejarah lisan. Suatu periode baru dalam perkembangan historiografi Indonesia dimulai dengan timbulnya studi sejarah kritis. Dalam penulisan tentang sejarah kritis dipergunakan prinsip-prinsip metode sejarah. Studi sejarah kritis juga memerlukan bantuan dari ilmu lain untuk mempertajam analisanya. Hal ini merupakan implikasi dari mulai sedikitnya peran analisa tekstual dengan  bantuan filologi terhadap studi sejarah Indonesia modern. Di sini yang harus diperbaiki adalah alat-alat analitis serta metodologis.
Bertolak dari hal ini, maka beberapa disiplin dari ilmu-ilmu sosial mulai dicantumkan dalam studi sejarah. Konsep sejarah nasional sebagai unit makro merupakan kerangka referensi bagi sejarah lokal/regional yang dapat dipandang sebagai unit mikro. Sejarah nasional sebagai macro-history mencakup interaksi antar micro-unit, antara lain melalui pelayaran, perdagangan, perang, penyiaran agama atau menuntut pelajaran, hubungan antara lembaga-lembaga nasional, seperti partai-partai politik. Sejarah nasional bukan jumlah dari sejarah lokal, tetapi proses-proses atau kejadian-kejadian pada tingkat sejarah lokal diterangkan dalam hubungannya dengan proses nasional (Rohman, 2013).
Historiografi modern, merupakan suatu periode perkembangan baru dalam historiografi  Indonesia atau nasional.  Diawali dengan munculnya karya Husein Djajadiningrat, Critische Beschouwingen van de Sejarah  Banten,  kemudian  karyakarya sejarah sejarah selanjutnya banyak dipengaruhi oleh karya ini, yaitu dengan dipergunakannya aspek pendekatan ilmu lain untuk melengkapi  atau  menulis  suatu  karya  sejarah (Indriyanto, 2001, hal. 2). Di Jaman Jepang Sanusi Pane dan Douwes Dekker sudah memelopori menulis Sejarah Indonesia dengan semangat nasionalisme. Karya mereka walaupun dari sudut ilmiah tidak mendapat penilaian yang tinggi, namun telah banyak membantu guru yang mengajar sejarah Indonesia pada zaman Jepang dan jaman berikutnya (Dasuki, 2003, hal. 349).
Karakteristik historiografi modern adalah sebagai berikut:
1)      Bersifat Indonesia sentrisme, penulisan sejarah di Indonesia diinterpretasikan sebagai sejarah nasional (Dasuki, 2003, hal. 348) dan ditulis dari sudut kepentingan rakyat Indonesia. Tugas dari historiografi nasional adalah“membongkar dan merevisi”  historiografi kolonial yang gaya penulisannya diselewengkan oleh para sejarawan kolonial yang sangat merugikan proses pembangunan, khususnya pembangunan sikap mental bangsa   (terutama generasi muda) Indonesia dewasa ini (Jayusman, 2012).
2)      Bersifat metodologis, artinya penulisan sejarah Indonesia menggunakan pendekatan ilmiah berdasarkan teknik penulisan ilmiah untuk ilmu sosial.

3)      Bersifat kritis historis, yang berarti substansi penulisan sejarah Indonesia secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan.

KRITIK SUMBER DALAM PENELITIAN SEJARAH

Kritik adalah sebuah kegiatan pengujian secara kritis terhadap sumber-sumber sejarah yang telah ditemukan, untuk memperoleh otentisitas dan dan kredibilitas. Tujuan utama kritik sumber adalah untuk menyeleksi data, sehingga diperoleh fakta. Setiap data sebaiknya dicatat dalam lembaran lepas (sistem kartu), agar memudahkan pengklasifikasiannya berdasarkan kerangka tulisan. Kritik sumber dilakukan setelah peneliti berhasil mengumpulkan sumber-sumber dalam penelitiannya dan tidak menerima begitu saja apa yang tercantum dan tertulis pada sumber-sumber tersebut dan menyaringnya secara kritis terutama sumber pertama (Sjamsuddin, 2007, hal. 131). Kritik sumber dilakukan dilakukan baik terhadap bahan materi  maupun terhadap substansi (isi) sumber. Dalam metode sejarah dikenal dengan cara melakukan kritik eksternal dan kritik internal.

1) Kritik eksternal
Kritik eksternal adalah cara melakukan verifikasi atau pengujian terhadap aspek-aspek luar dari sumber sejarah (Sjamsuddin, 2007, hal. 132). Sebelum sumber-sumber sejarah dapat digunakan dengan aman, menurut Lucey (1984) ada lima pertanyaan yang harus dijawab dengan memuaskan (Sjamsuddin, 2007, hal. 133) yaitu:
a)      Siapa yang mengatakan?
b)      Apakah kesaksian tersebut telah diubah?
c)      Apa yang dimaksud sumber dengan kesaksiannya?
d)      Apakah orang yang memberikan kesaksian itu seorang saksi mata (witness) yang kompeten (mengetahui fakta yang sebenarnya)
e)      Apakah saksi mengatakan fakta yang sebenarnya (truth) dan memberikan fakta yang diketahui?
Fungsi kritik eksternal adalah memeriksa sumber sejarah atas dasar dua hal pertama dan menegakkan sedapat mungkin otentisitas dan integritas dari sumber tersebut. Kritik eksternal juga harus memperhatikan otentisitas (authenticity), deteksi sumber palsu, integritas dan penyuntingan. Sebuah sumber sejarah (catatan harian, surat, buku) adalah otentik atau asli jika itu benar-benar produk dari orang yang dianggap sebagai pemiliknya (atau dari periode yang dipercayai sebagai masanya jika tidak mungkin menandai pengarangnya).
Langkah yang dilakukan dalam menegakkan otentisitas  adalah mengidentifikasi penulis. Kadang-kadang penulis tidak dapat ditandai karena banyak dokumen dan penerbitan pertama-tama muncul tidak menggunakan nama samaran dan penelitian kemudian dapat saja berhasil mengidentifikasi beberapa penulisnya. Belum ada aturan yang benar-benar baku untuk memutuskan berapa banyak yang harus dibuktikan sebelum sebuah sumber dapat diterima sebagai sesuatu yang asli, namun semakin banyak yang diketahui tentang dokumen tersebut, semakin banyak pula yang dapat digunakan oleh peneliti dari sumber tersebut (Sjamsuddin, 2007, hal. 134-137).
Keahlian dalam mendeteksi sumber asli diperlukan mengingat kecanggihan teknologi modern yang memudahkan para pemalsu dokumen untuk melakukan operasinya. Banyak dokumen rahasia negara terutama yang sedang konflik dijajakan oleh para pemalsu kepada pihak yang berkepentingan dikatakan asli padahal palsu (Sjamsuddin, 2007, hal. 137). Dalam mendeteksi sumber maka haru diperhatikan kriteria fisik (jenis kertas, tinta, cat), garis asal usul dokumen, tulisan tangan, dan isi dari sumber.
Setelah mendeteksi sumber maka selanjutnya harus diketahui integritasnya. Integritas disini dapat diartikan bahwa sumber mempunyai otentisitas yang tetap jika kesaksian yang asli tetap terpelihara tanpa ubah-ubahan mensikipun ditransmisikan dari masa ke masa (Sjamsuddin, 2007, hal. 140). Ubahan dapat berupa penambahan, pengurangan, penghilangan atau penggantian dalam teks asli dan ini mungkin saja disengaja atau tidak disengaja dalam sumber asli atau dalam salinan aslinya. Ubahan yang sering terjadi diakibatkan oleh kekeliruan dalam menyalin sehingga secara substansional dapat mengubah arti sebuah teks. Untuk mencegah kekeliruan tersebut perlu dilakukan kolasi yaitu membandingkan manuskrip asli dengan salinan oleh seseorang yang membaca naskah asli dan sejarawan mengikuti naskah salinannya. Jika integritasnya terjaga maka dapat dikatakan fakta dari kesaksian (fact of testimony) telah ditegakkan bagi sejarawan (Lucey dalam (Sjamsuddin, 2007, hal. 140)).
Dokumen yang diedit secara sembarangan dapat merusak banyak sumber sejarah. Dokumen memang harus diedit sebagaimana aslinya dan jika ada perubahan, penyunting harus memberitahukan pembacanya. Aplikasi dari aturan-aturan sederhana ini menuntut kerajinan yang diteliti dan penyunting dapat menggunakan tanda-tanda tertentu dalam mengoreksi kesalahan ejaan, istilah, ataupun nama yang dibuat oleh penulis asli (Sjamsuddin, 2007, hal. 143).

2) Kritik Internal
Kritik internal merupakan kebalikan dari kritik eksternal dengan menekankan aspek dalam yaitu isi dari sumber, yaitu kesaksian (testimony) (Sjamsuddin, 2007, hal. 143). Setelah fakta kesaksian ditegakkan melalu kritik eksternal, tiba giliran sejarawan untuk mengadakan evaluasi terhadap kesaksian tersebut apakah reliable atau tidak. Hal yang perlu diperhatikan dari kritik internal adalah:
a)      Arti sebenarnya dari kesaksian
Sejarawan harus menetapkan arti sebenarnya dari perkataan yang dikemukakan oleh saksi apakah diartikan harfiah atau sesungguhnya (real) . Arti harfiah adalah pengertian gramatikal yang berarti menurut huruf yang tertulis. Sementara arti yang sesungguhnya adalah arti yang tersirat dari balik huruf yang ditulis. Mungkin dalam sebuah tulisan sejarah sumber tersebut menggunakan kalimat metafora sehingga peneliti harus tahu arti yang sesungguhnya.
b)      Kredibilitas kesaksian.
Kredibilitas (keterpercayaan) seorang saksi harus memperhatikan bagaimana kemampuan saksi untuk mengamati, bagaimana kesempatannya untuk mengamati teruji dengan benar atau tepat, bagaimana jaminan bagi kejujurannya, bagaimana kesaksiannya itu dibandingkan dengan saksi-saksi yang lain. Dalam membandingkan satu sumber dengan sumber-sumber lain untuk kredibilitas, terdapat tiga  kemungkinan yaitu sumber-sumber lain dapat cocok dengan sumber yang dibandingkan, berbeda dengan sumber atau malah tidak menyebutkan apa-apa (Sjamsuddin, 2007, hal. 151-152)
c)      Sumber-sumber yang sesuai (concurring sources)
Sumber dikatakan kredibel apabila sumber yang lain sesuai dengan kesaksiannya baik secara independen maupun dependen. Penyesuaian kesaksian dari saksi independen dan dapat dipercaya yang dapat menegakkan kredibilitas suatu sumber tertentu.
d)      Sumber-sumber yang berbeda (disseting sources).


Perbedaan kesaksian sumber lain terhadap satu sumber tidak begitu saja dapat membatalkan kesaksian dari sumber yang dibicarakan. Tetapi tergantung dari tingkat perbedaannya. Pada beberapa kondisi tertentu perbedaan sudah dapat diperkirakan namun kembali kepada kecerdasan peneliti dalam menghadapi perbedaan tersebut dan komplikasi-komplikasi yang muncul akibat perbedaan sehingga dapat ditemukan juga benang merahnya.

Tuesday, February 21, 2017

METODOLOGI PENELITIAN SEJARAH

Metode dan Metodologi
Pengertian metode pada umumnya adalah menurut kamus Webster’s Third New International Dictionary of the English Language(Sjamsuddin, 2007, hal. 12-13):
a.         Suatu prosedur atau proses untuk mendapatkan suatu objek
b.        Suatu disiplin atau sistem yang acapkali dianggap sebagai suatu cabang logika yang berhubungan dengan prinsip-prinsip yang dapat diterapkan untuk penyidikan ke dalam atau eksposisi dari beberapa subjek.
c.         Suatu prosedur, teknik, atau cara melakukan penyelidikan yang sistematis yang dipakai oleh atau yang sesuai untuk suatu ilmu (sains), seni, atau disiplin tertentu.
d.        Suatu rencana sistematis yang diikuti dalam menyajikan materi untuk pengajaran.
e.        Suatu cara memandang, mengorganisasi, dan memberikan bentuk dan arti khusus pada materi-materi artistik: 1) suatu cara, teknik, atau proses dari atau untuk melakukan sesuatu; 2) suatu keseluruhan keterampilan-keterampilan (a body of skills) atau teknik-teknik.
Sementara menurut kamus The New Lexicon  (1989:628) dalam (Sjamsuddin, 2007, hal. 14) memberikan gambaran tentang pengertian metodologi yaitu suatu cabang filsafat yang berhubungan dengan ilmu tentang metode atau prosedur; suatu sistem tentang metode-metode dan aturan-aturan yang digunakan dalam sains.
Berkaitan dengan Sejarah, Sartono Kartodidjo dalam (Sjamsuddin, 2007, hal. 14) membedakan metode sebagai bagaimana memperoleh pengetahuan (how to know) dan metodologi sebagai mengetahui bagaimana harus mengetahui (to know how to know), sehingga dalam metode sejarah adalah bagaimana mengetahui sejarah dan metodologinya adalah mengetahui bagaimana mengetahui sejarah. Pendapat lain mengenai metode sejarah adalah petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis tentang bahan, kritik, interpretasi, dan penyajian sejarah (Kuntowijoyo, 1995, hal. xii). Dari beberapa definisi para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa metode sejarah merupakan suatu metode yang digunakan dalam proses penelitian terhadap sumber-sumber masa lampau yang dilakukan secara kritis-analitis dan sistematis dan disajikan secara tertulis.

Penelitian Sejarah
Penelitian sejarah adalah salah satu penelitian mengenai pengumpulan dan evaluasi data secara sistematik, berkaitan dengan kejadian masa lalu untuk menguji hipotesis yang berhubungan dengan faktor-faktor penyebab, pengaruh atau perkembangan kejadian sekarang dan mengantisipasi kejadian yang akan datang (Sukardi, 2003, hal. 203). Menurut (Sjamsuddin, 2007, hal. 13) penelitian sejarah berhubungan dengan suatu prosedur, proses, atau teknik yang sistematis dalam penyidikan suatu disiplin ilmu tertentu untuk mendapatkan objek (bahan-bahan) yang akan diteliti (Sjamsuddin, 2007, hal. 13).

Metodologi Penelitian Sejarah
Dalam metode sejarah, terdapat beberapa tahap yang perlu dilakukan penulis ketika akan mengadakan penelitian. Tahap metode sejarah yang dikemukakan oleh Helius Sjamsuddin (2007:17-155) terdiri dari beberapa langkah-langkah sebagai berikut:
Tahap heuristik yaitu mencari dan mengumpulkan data dari sumber-sumber sejarah yang relevan dengan penelitian.
Tahap kritik sumber, yaitu penyaringan secara kritis terhadap sumber-sumber yang telah dikumpulkan terutama terhadap sumber primer atau sumber pertama. Kritik sumber dilakukan untuk memperoleh fakta yang menjadi pilihan dan dapat dipercaya kebenarannya. Proses kritik sumber memudahkan penulis untuk mengetahui apakah sumber-sumber yang diperoleh relevan atau tidak dengan permasalahan yang dikaji. Tahap ini terbagi dua bagian, yaitu kritik eksternal dan kritik internal.
Tahap interpretasi yaitu menafsirkan keterangan sumber-sumber sejarah. Dalam hal ini penulis memberikan penafsiran terhadap fakta-fakta yang diperoleh selama melakukan penelitian dengan cara menghubungkan fakta yang satu dengan fakta lain yang saling berkaitan. Semua fakta yang telah terangkum ini nantinya akan dijadikan sebagai bahan dalam penulisan skripsi ini.
Tahap historiografi. Tahap ini merupakan hasil dari semua penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Di sini penulis diharuskan untuk menulis cerita sejarah berdasarkan data-data yang telah dikumpulkan dan dianalisis sebelumnya. Pada tahap ini penulis berusaha memberikan sebuah bentuk laporan penelitian penulisan sejarah sehingga menjadi sebuah satu kesatuan sejarah yang utuh. 


Wood Gray (Sjamsuddin, 2007:89-90) menambahkan ada enam langkah dalam metode historis, yaitu: 1) Memilih topik yang sesuai, 2)Mengusut semua evidensi (bukti) yang relevan dengan topik, 3)Membuat catatan tentang apa saja yang dianggap penting dan relevan dengan topik yang ditentukan ketika penelitian sedang berlangsung, 4) Mengevaluasi secara kritis semua evidensi yang telah dikumpulkan (melalui kritik sumber). Kritik dilakukan terhadap semua sumber yang dihimpun peneliti tentang multikulturalisme untuk memperoleh data yang relevan, 5) Menyusun hasil-hasil penelitian (catatan fakta-fakta) ke dalam suatu pola yang benar dan berarti yaitu sistematika tertentu yang telah disiapkan sebelumnya, 6) Menyajikan dalam suatu cara yang dapat menarik perhatian dan mengkomunikasikannya kepada para pembaca sehingga dapat dimengerti sejelas mungkin.

Monday, February 20, 2017

FAKTA SEJARAH

PENGERTIAN
Fakta adalah hasil dari seleksi data yang terpilih. Fakta menunjukkan terjadinya suatu peristiwa di masa lampau. Fakta berasal dari bahasa latin, factus dan facerel, yang artinya selesai atau mengerjakan. Fakta sejarah adalah fakta – fakta yang berhubungan langsung dengan peristiwa sejarah yang kita teliti.     F. J. Tigger mendefinisikan fakta adalah sebagai hasil penyelidikan secara kritis yang ditarik dari sumber – sumber dokumenter (Sidi Gazalba, 1981).
Sementara Louis Gottchalk mengartikan fakta sebagai suatu unsur yang dijabarkan secara langsung atau tidak langsung dari sumber sejarah yang dipandang kredibel, setelah diuji secara seksama dengan metode sejarah. Dari pandangan sejarah itu menunjukkan bahwa fakta dalam sejarah adalah rumusan atau kesimpulan yang diambil dari sumber sejarah atau dokumen. Fakta sejarah dibagi menjadi fakta lunak, fakta keras, inferensi dan opini.

JENIS-JENIS FAKTA SEJARAH
Fakta lunak. Fakta lunak merupakan fakta yang masih perlu dibuktikan dengan dukungan fakta – fakta lain. Para sejarawan melalui penelitian sumber – sumber sejarah mencoba mengolah sehingga bisa dimengerti. Tetapi bisa saja bahwa apa yang dianggap sebagai fakta belum tentu diterima oleh orang lain, sehingga tidak jarang masih mengundang perdebatan. Contohnya peristiwa supersemar merupakan fakta lunak karena masih dalam perdebatan.
Fakta keras. Fakta keras adalah fakta – fakta yang biasanya sudah diterima sebagai sesuatu peristiwa yang benar, yang tidak lagi diperdebatkan. Fakta ini sering disebut “fakta keras”, fakta yang sudah mapan (established) dan tidak mungkin dipalsukan lagi. Contohnya peristiwa proklamasi 17 Agustus 1945 merupakan faakta yang tidak bisa diubah lagi.
Inferensi. Inferensi merupakan ide – ide sebagai benang merah yang menjembatani antara fakta yang satu dengan fakta yang lain. Ide atau gagasan ini dapat dimasukkan dalam kategori fakta, tetapi masih cukup lemah. Karena inferensi tidak lebih dari suatu pertimbangan logis yang menjelaskan pertalian antara fakta – fakta.
Opini. Opini mirip dengan inferensi, tetapi opini ini lebih bersifat pendapat pribadi / perorangan. Karena pendapat pribadi maka tidak didasarkan pada konsideran umum. Sedangkan salah satu benntuk informasi sejarah, opini merupakan penilaian (value judgment) atau sangkaan pribadi.

Berdasarkan bentuknya fakta sejarah dibagi menjadi 3, yaitu : fakta mental, fakta social, dan artefak.
Fakta mental. Fakta mental adalah kondisi yang dapat menggambarkan suasana pikiran, perasaan batin, kerohanian, dan sikap yang mendasari suatu karya cipta. Jadi fakta mental bertalian dengan perilaku, ataupun tindakan moral manusia yang mampu menentukan baik buruknya kehidupan manusia, masyarakat, dan Negara.
Fakta Sosial. Fakta sosial adalah fakta sosial yang berdimensi sosial, yakni kondisi yang mampu menggambarkan tentang keadaan sosial, suasana zaman dan sistem kemasyarakatan, misalnya interaksi (hubungan)antarmanusia, contoh pakaian adat, atau pakaian kebesaran raja. Jadi fakta sosial berkenaan dengan kehidupan suatu masyarakat, kelompok masyarakat atau suatu Negara yang menumbuhkan hubungan sosial yang harmonis serta komunikasi yang terjaga baik.

Artefak, adalah semua benda baik secara keseluruhan atau sebagian hasil garapan tangan manusia, contohnya candi, patung, dan perkakas.

Friday, February 17, 2017

SUMBER SEJARAH


      PENGERTIAN
Sumber sejarah disebut juga data sejarah. Dalam bahasa Inggris, data adalah bentuk jamak, sedangkan bentuk tunggalnya datum. Kata datum berasal dari bahasa Latin yang mengandung arti pemberian. Kata data diserap ke dalam bahasa Indonesia dengan pengertiannya menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah keterangan yang benar dan bahan nyata yang dapat djadikan sebagai dasar kajian, analisis atau kesimpulan.
Data sejarah atau sumber sejarah juga mempunyai pengertian seluruh informasi yang dapat dijadikan sebagai dasar untuk merekonstruksi atau menyusun kembali peristiwa masa lalu. Pengunaan data atau sumber dalam belajar sejarah menjadi sangat penting karena sejarah merekonstruksi peristiwa yang benar-bear terjadi pada masa lalu. Oleh karena itu karya sejarah merupakan sebuah karya nonfiksi. Informasi yang diperoleh dari data atau sumber sejarah adalah keterangan sekitar apa yang terjadi, siapa pelakunya, di mana peristiwa itu terjadi dan kapan peristiwa itu terjadi. Seluruh keterangan inilah yang dijadikan dasar untuk merekonstruksi peristiwa masa lalu menjadi sebuah kisah yang sudah dlengkapi dengan proses bagaimana peristiwa itu terjadi beserta latar belakangnya sehingga menjawab pertanyaan mengapa peristiwa itu terjadi.
      JENIS SUMBER SEJARAH
BERDASARKAN BENTUK, sumber sejarah dibagi menjadi tiga, yaitu sumber tertulis, sumber lisan, dan sumber benda. Sumber tertulis adalah keterangan tentang peristiwa masa lalu yang disampaikan secara tertulis dengan mengguakan media tulis sepeti batu dan kertas. Jika dalam meneliti peristiwa sejarah tidak terdapat bukti tertulis maka dapat diperoleh melalui teknik wawancara kepada pelaku atau saksi sejarah. Keterangan dari pelaku atau saksi sejarah inilah yang disebut dengan sumber lisan. Pelaku sejarah adalah orang yang secara langsung terlibat dalam peristiwa sejarah. Saksi sejarah ialah orang yang mengetahui suatu peristiwa sejarah, tetapi tidak terlibat secara langsung. Selain sumber tertulis dan sumber lisan, terdapat pula sumber benda, yaitu benda-benda hasil peninggalan sejarah.
BERDASARKAN SIFAT, sumber sejarah dibagi menjadi dua, yaitu sumber primer dan sumber sekunder. Sumber Primer adalah sumber yang diperoleh secara langsung dari pelaku sejarah atau yang terlibat langsung dalam peristiwa. Sedangkan sumber sekunder adalah  sumber yang diperoleh secara tidak langsung atau melalui perantara


Wednesday, February 15, 2017

CARA BERPIKIR SEJARAH

BERPIKIR DIAKRONIS
Berpikir sejarah dengan cara diakronis merupakan menelaah peristiwa sejarah secara berurutan berdasarkan waktu terjadinya. Dengan berpikir secara diakronis, peristiwa sejarah menjadi terbatas dalam ruang namun memanjang dalam waktu. Dengan kata lain, sejarah sangat memperhatikan aspek waktu yang didalamnya banyak terdapat  dinamika atau perubahan. Cara berpikir ini lekat dengan konsep kronologis, yaitu pengetahuan tentang urutan waktu dari suatu kejadian atau peristiwa. Kronologi memberikan gambaran waktu yang bersifat linear, yakni waktu yang bergerak dari belakang ke depan, atau waktu yang bergerak dari kiri ke kanan, atau waktu yang bergerak dari titik awal hingga mencapai titik akhir. Oleh karena itu, gerakan waktu bersifat progresif karena memandang perjalanan waktu sebagai proses perkembangan menuju kemajuan. Dalam pandangan waktu yang bersifat linear dan progresif tersebut, pergerakan waktu dibagi menjadi tiga dimensi waktu yaitu masa lalu, masa kini dan masa depan. Di antara dimensi waktu itu, sejarah mempelajari peristiwa yang terjadi pada masa lalu. Namun, peristiwa masa lalu dalam sejarah mempunyai keterkaitan dengan masa kini dan masa depan. Kronologis merupakan sesuatu yang sangat penting dalam sejarah, namun sejarah tidak dapat disamakan dengan kronik. Pengertian kronik adalah catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya. Di dalam kronik hanya dilakukan pencatatan terhadap peristiwa tanpa mempedulikan keterkaitan antara peristiwa yang pertama dengan yang kedua dan selanjutnya. Sementara kronologi sangat menekankan keterkaitan antara peristiwa yang pertama dengan yang kedua dan selanjutnya. Kebalikan dari berpikir kronologis adalah berpikir anakronistis, yaitu cara berpikir yang mencampuradukan atau memutarbalikan urutan peristiwa sehingga memberikan pemahaman yang salah.

BERPIKIR SINKRONIS
Menurut Kuntowijoyo, pada dasarnya sejarah merupakan ilmu diakronis, namun ketika sejarah bersentuhan dengan ilmu sosial, sejarah menjadi ilmu yang juga sinkronis. Maksudnya, selain memanjang dalam waktu, sejarah juga melebar dalam ruang. Maksudnya? Sebuah peristiwa sejarah tidak hanya dikaji berdasarkan urutan waktu tetapi juga dikaji melalui berbagai aspek melalui berbagai macam pendekatan multidimensional., yaitu sebuah pendekatan yang menggunakan bantuan konsep dan teori dari berbagai cabang ilmu sosial untuk menganalisis peristiwa sejarah. Dengan cara sinkronis, sejarah tidak hanya menceritakan sebuah peristiwa saja, tetapi juga menjelaskan suatu peristiwa dengan mengkaji sebab akibat, kondisi lingkungan, kondisi politik-sosial-ekonomi-budaya. Jadi sinkronis mencoba menelaah lebih mendalam mengenai faktor-faktor secara kausal, kondisional, dan kontekstual.

BERPIKIR KAUSALITAS
Kausalitas merupakan cara pikir dengan mencari hubungan sebab akibat dari dua atau lebih peristiwa. Teori mengenai berpikir kausalitas pada umumnya dibagi menjadi dua, yaitu monokausal dan multikausal. Setiap peristiwa yang terjadi hanya memiliki satu sebab dan satu akibat dikenal dengan monokausal, sedangkan yang memliki lebih dari satu sebab dan/atau lebih dari satu akibat dinamakan dengan multikausal.

KONSEP PERIODEISASI

Periodeisasi merupakan pembabakan waktu dalam menjelaskan peristiwa sejarah. Kata periodisasi berasal dari kata periode. Dalam bahasa Indonesia, kata periode mempunyai  tiga pengertian: (1) kurun waktu, (2) lingkaran waktu, dan (3) masa. Ketiga pengertian ini mengandung arti yang sama yakni berkaitan dengan dimensi waktu. Oleh karena itu memahami periode menjadi sangat penting dalam belajar sejarah karena dimensi waktu merupakan sesuatu yang paling mendasar dalam ilmu sejarah. Periodisasi dalam ilmu sejarah berfungsi untuk menyusun sistematika dalam penulisan sejarah.

Monday, February 6, 2017

enkulturasi dalam pengertian pendidikan berdasarkan pendekatan antropologi



Cabang-cabang antropologi yang berdekatan dengan pendidikan adalah antropologi biologis/fisik dan antropologi social budaya. Antropologi biologis/fisik mengungkap tentang ciri-ciri khas manusia. Menurut pandangan antropologi biologis/fisik, manusia adalah homo sapiens atau makhluk yang diberkahi ratio. Atas dasar inilah maka yang menjadi kajian dalam pendidikan adalah bahwa manusia merupakan makhluk yang mempunyai keharusan dan kemungkinan pendidikan. Terjadnya pendidikan karena adanya hubungan sesame manusia untuk mengembangkan ratio dan pertumbuhan fisiknya. Disisi lain, antropologi budaya merupakan cabang antropologi yang mepelajari tingkah laku manusia yang salah satunya mempelajari segala sesuatu dalam bidang social atau disebut sosial budaya
Contoh:
1. Seorang guru/pendidik yang telah banyak menimba ilmu, baik dari pendidikan maupun pengalaman merupakan suatu alih budaya dari generasi sebelunya. Hal ini merupakan bahan bagi pengembangan dirinya (dalam hal ini, ilmu yang ia miliki) kepada orang lain/siswa/terdidik.
2. Dalam budaya Indonesia, tentunya kita banyak mengenal jenis tari-tarian. Orang dewasa yang telah mahir/menguasai suatu tarian dan mengerti makna dari tarian tersebut, tentunya diperoleh dari generasi sebelumnya. Selanjutnya tarian tersebut akan dialihkan/diajarkan kembali pada anak-anak atau generasi berikutnya.
Hal inilah yang dimaksud dengan enkulturasi dalam pengertian pendidikan berdasarkan pendekatan antropologi, yakni proses pemindahan budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya.

KONSTRUKTIVISME



Teori Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan yang baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan dan menjadi lebih dinamis. Pendekatan konstruktivisme mempunyai beberapa konsep umum seperti:
  1. Pelajar aktif membina pengetahuan berasaskan pengalaman yang sudah ada.
  2. Dalam konteks pembelajaran, pelajar seharusnya membina sendiri pengetahuan mereka.
  3. Pentingnya membina pengetahuan secara aktif oleh pelajar sendiri melalui proses saling mempengaruhi antara pembelajaran terdahulu dengan pembelajaran terbaru.
  4. Unsur terpenting dalam teori ini ialah seseorang membina pengetahuan dirinya secara aktif dengan cara membandingkan informasi baru dengan pemahamannya yang sudah ada.
  5. Ketidakseimbangan merupakan faktor motivasi pembelajaran yang utama. Faktor ini berlaku apabila seorang pelajar menyadari gagasan-gagasannya tidak konsisten atau sesuai dengan pengetahuan ilmiah.
  6. Bahan pengajaran yang disediakan perlu mempunyai perkaitan dengan pengalaman pelajar untuk menarik miknat pelajar.
Menurut teori konstruktivis ini, satu prinsip yang paling penting dalam psikologi pendidikan adalah bahwa guru tidak hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun sendiri pengetahuan di dalam benaknya. Guru dapat memberikan kemudahan untuk proses ini, dengan memberi kesempatan siswa untuk menemukan atau menerapkan ide-ide mereka sendiri, dan mengajar siswa menjadi sadar dan secara sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar.
Pendekatan konstruktivisme dalam pengajaran menekankan pengajaran top down daripada bottom-up. Top down berarti bahwa siswa mulai dengan masalah kompleks untuk dipecahkan dan kemudian memecahkan atau menemukan (dengan bimbingan guru) keterampilan-keterampilan dasar yang diperlukan. Sedangkan pendekatan bottom-up tradisional yang mana keterampilan-keterampilan dasar secara tahap demi tahap dibangun menjadi keterampilan-keterampilan yang lebih kompleks. (Slavin, 1997 dalam Nur dan Retno,2000:7). Sehingga dapat dikatakan bahwa di dalam kelas yang terpusat pada siswa peran guru adalah membantu siswa menemukan fakta, konsep atau prinsip bagi diri mereka sendiri, bukan memberikan ceramah atau mengendalikan seluruh kegiatan kelas.